Senin, 29 November 2010

Mengapa mesti takut menjadi pemangku?

Kebanyakan dari masyarakat Hindu di Bali sangat takut dan bahkan menghindar untuk menjadi seorang Pemangku ataupun seorang Sulinggih/pendeta Hindu. Kebanyakan dikarenakan alasan berikut :
1. Takut melarat
2. Tidak siap karena umur masih muda
3. Tidak siap untuk menjalani berbagai pantangan ditengah maraknya kenikmatan duniawi

Mengapa harus takut?
Sesungguhnya menjadi pemangku ataupun sulinggih (yang pada umumnya terjadi karena takdir Tuhan) merupakan tugas yang sangat mulia. Dan kesucian ini, pada dasarnya bukan untuk siapa-siapa, melainkan untuk kesucian diri kita sendiri. Menjadi pemangku ataupun Sulinggih jangan dijadikan alasan untuk mencari kehormatan di tengah masyarakat. Hal ini dikarenakan tugas yang suci jelas memiliki tanggung jawab yang besar pula.
Banyak pelaku spiritual seperti pemangku ataupun sulinggih mengawali perjalanan hidupnya dalam mengemban tugas ini melalui fase penurunan ekonomi. Mengapa?
Tugas suci dari Tuhan, sarat akan pelayanan. Dan pelayanan ini membutuhkan jiwa yang memang bisa melayani. Pelayanan yang akan diberikan kepada seluruh umat ciptaan Tuhan tanpa memandang wujud, kekayaan , jabatan , ataupun keturunan.
Pelayanan yang betul-betul dilaksanakan dengan hati tulus dan sama sekali tak boleh teracuni oleh ego. Pelayanan yang didasari atas kesadaran bahwa semua adalah Tuhan itu sendiri. Sedangkan dijaman Kaliyuga ini, ego sangat dipengaruhi oleh harta. Sulit sekali untuk menghilangkan ego selama kita memiliki harta apalagi yang berlimpah. Selain itu dengan ekonomi yang dibuat terbatas, seseorang akan mampu untuk mengendalikan kama (nafsu) untuk memiliki sesuatu, karena pada dasarnya kekayaan itu akan memperbesar nafsu untuk memiliki. Jadi melalui penurunan ekonomi, Tuhan sedang mengajarkan pada orang-orang yg akan mengemban tugas suci ini untuk mengendalikan hawa nafsu dan ego.
Namun ini takkan berlangsung lama. Jika pada fase ini kita berhasil mengendalikan kama dan ego, maka fase ini akan berakhir dan berganti dengan kemakmuran. Banyak yang sudah membuktikannya. Jadi selama fase ini berlangsung, mari kita ikuti seperti air yang mengalir. Jangan menyesali ataupun melawannya. Justru syukurilah karena ini masa pembelajaran dan pendewasaan.

Tidak siap karena umur masih muda?
Mengapa mesti tidak siap?
Sama halnya dengan saat kita bekerja sebagai karyawan kemudian pimpinan kita menawarkan jabatan Manager. Mengapa mesti tak siap?
Umur bukan halangan. Banyak pemangku ataupun sulinggih di jaman sekarang ini masih berusia muda. Salah satunya di daera Kintamani. Ternyata hal ini sudah dinyatakan di dalam Bhagawad Gita. Bahwa seorang yogi yang belum mencapai kesempurnaan yoganya di kehidupan yang lalu maka di kehidupan kini mereka akan dilahirkan di keluarga yang suci dan bertugas melanjutkan kesempurnaan yoganya tersebut. Jadi hal ini membuktikan mengapa putra seorang pemangku ataupun sulinggih pada dasarnya akan menjadi pemangku ataupun sulinggih juga. Selain itu apa yang dijalani saat ini tak lepas dari kehidupan yang lalu. Simplenya, jika dulu tingkatan spiritualnya sudah mencapai kelas 5 berarti di kehidupan saat ini akan dimulai dari tingkat itu pula.
Usia muda bukan berarti kita tak kuat untuk mengendalikan diri. Dengan tekad yang kuat dan dilandasi pula dengan pengetahuan diri akan Sang Atman serta berbagai pengetahuan spiritual, usia bukanlah masalah.

Tidak siap melepas diri dari kenikmatan duniawi?
Menjadi pemangku apalagi sulinggih jelas harus bisa melepaskan keterikatan duniawi. Dan inilah yang menjadi ketakutan orang-orang yang akan mengemban tugas suci ini. Tidak lagi boleh ke swalayan atau mall, tidak boleh makan daging, tidak boleh minum minuman keras, pengendalian indria, dan masih banyak lagi....
Mengapa mesti takut. Justru semua itu hanya ilusi. Kenikmatan semacam itu sifatnya sesaat. Banyak orang kaya, walaupun setiap akhir minggu berusaha melepas stres nya dengan makan makanan yang enak ataupun menginap di hotel berbintang dll, tetap merasakakn kekosongan di dalam dirinya. Beda halnya setelah menjalani spiritual dan membatasi indria akan kenikmatan duniawi. Justru yang kita dapatkan adalah kenikmatan jiwa, kebahagiaan dan ketenangan. Seperti apa yang penulis rasakan dibandingkan saat menjadi manajer dulunya.
Kebahagiaan sejati tidak ada dimana-mana. Tidak ada di bar, di restoran, di mall ataupun ditempat manapun. Kebahagiaan sejati ada di dalam diri kita sendiri. Berada di dekatNya lah kebahagiaan itu. Jika kita sudah mampu mengendalikan diri dan berpasrah diri kepadaNya, kita akan menemukan beliau didalam diri kita sendiri.
Sebuah tugas yang suci menyimpan tanggungjawab yang sangat besar, sehingga diperlukan pribadi yang suci dan tangguh. Itu sebabnya orang-orang yang akan mengemban tugas ini akan melalui tahap penggemblengan yang luar biasa. Namun jangan takut. Saat kita lolos dalam ujian itu, percayalah.... Tuhan takkan membiarkan kita menderita. Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang akan slalu melindungi kita.
Jadi jangan hindari tugas ini. Laksanakan dengan penuh keiklhasan hati serta penuh kasih sayang kepadaNya. Matur suksma

Minggu, 28 November 2010

Mengapa takut terkena ilmu hitam?

Bali merupakan salah satu daerah yang tak hanya terkenal dengan keindahan alam ataupun pariwisata budayanya. Ternyata salah satu hal yang terkenal dari Bali adalah Ilmu hitamnya atau lebih kita kenal dengan "pengleakan". Mungkin hampir semua orang Bali pernah terkena ilmu ini, dan bahkan tak sedikit pula yang meninggal dibuatnya. Banyak yang pernah mengalaminya menjadi takut dan mencoba mencari berbagai penangkalnya. Bahkan rela mengeluarkan banyak uang untuk bisa membeli penangkalnya pada orang-orang pintar.
Tapi apakah sebegitu menakutkannyakah ilmu hitam itu?
Tak dapat dipungkiri, tiyang pun pernah mengalaminya tiga kali. Sakit karena terkena ilmu hitam. Pertama saat tiyang berumur 25 tahun dan belum menikah. Kepala seringkali sakit dan nyeri tak tertahankan. Berbagai obat sakit kepala tiyang minum. Sakitnya sungguh mengganggu terutama saat tiyang bekerja. Dan anehnya lagi, setelah diperiksa beberapa dokter, tetap saja tak sembuh. Hingga akhirnya tiyang mengikuti saran teman untuk mengeceknya pada seorang dasaran (balian). Dan ternyata benar, katanya tiyang kena pepasangan. Dan ajaibnya saat dicabut pepasangan itu dari pundak tiyang, nyata-nyata bisa keluar sebuah hiasan bunga emas. Dan sejak saat itu pun tiyang sembuh.Sungguh ajaib.
Yang kedua terjadi saat usia tiyang 27 tahun. Saat itu tiyang terkena demam tinggi. Setelah ke dokter dan cek lab, tiyang dinyatakan tifus dan harus rawat inap di rumah sakit.Setelah 4 hari di rumah sakit, dokter mengijinkan tiyang pulang dan rawat jalan. Namun sampai di rumah tiyang kembali demam. Dan yang aneh, saat ke dokter dan kembali cek lab ternyata tak ada masalah dg kesehatan tiyang. Walau dokter sudah memberikan obat penurun demam tapi tetap tak mempan. Tiyang menyadarinya saat tiyang dijenguk oleh mangku lanang (suami, namun saat itu masih pacar). Saat beliau masuk ke kamar rawat, demam tiyang reda. Namun saat keluar hendak mengamnbil sesuatu, kembali lagi demam. Terus begitu hingga tiyang curiga dan meminta pertolongan teman yang juga paranormal. Ternyata benar, tiyang kena pepasangan lagi dan mangku lanang bisa menetralisir karena beliau ngiring Ida Ratu Mas Sakti. Saat itu tiyang belum memahami masalah kena pengeleakan ini dan cenderung menyalahkan orang yang menyakiti tiyang.
Kejadian ketiga terjadi setelah tiyang menikah 1 tahun. Saat itu malam harinya tiyang demam dan diare hingga sepuluh kali ke toilet dan hampir pingsan. Tiyang dilarikan kerumah sakit. Namun hasil lab membuktikan tiyang tak kenapa-napa. Tiyang lagi-lagi meminta bantuan teman yang paranormal tersebut untuk mengecek. Ternyata lagi-lagi tiyang kena serempet di depan pintu gerbang rumah. Saat itulah teman menasehati agar tiyang tidak menyalahkan orang yang mencoba menyakiti tiyang.
Setelah kejadian inilah tiyang penasaran. Apa yang membuat mereka bisa menyakiti tiyang sedangkan suami tiyang aman-aman saja.
Akhirnya rasa penasaran inilah yang membuat tiyang mencari sumber-sumber informasi tentang ilmu hitam dari berbagai buku. Dan di buku Usada Bali tiyang temukan bahwa Ida Betari Durga mendapat panugerahan ilmu untuk membuat wabah (agar beliau bisa memakan jasad manusia) dari Ida Betara Brahma. Dan Ida Betara Brahma berpesan bahwa ilmu ini hanya bisa mengenai umat manusia yang telah berbuat salah namun tak berlaku untuk kebalikannya. Oleh karena itulah Ida Betari Durga akhirnya mengutus semua anak buah beliau (butha kala butha kali ) untuk menggoda manusia agar tidak berbuat kebajikan sehingga mudah untuk disakiti.
Berangkat juga dari informasi bahwa untu belajar ilmu pengeleakan nunasnya di Pura Dalem padahal kita semua tahu bahwa di pura Dalem pula kita memohon keselamatan.
Disinilah konsep Rwa Binedha itu. Tuhan mengadakan dua hal yaitu baik dan buruk. Dan Tuhan pun lah yang menyebabkan baik dan buruk itu.
Artinya, sakit yang kita terima, baik itu penyakit sekala maupun niskala semuanya bersumber dari Tuhan. Dan penyakit ini terjadi tak lain tak bukan adalah karena kesalahan kita sendiri. Apakah itu karena kita lalai menjaga kesehatan diri ataupun lalai menjalankan kebajikan. Bukankah seringkali kita mendengar disaat orang meluasang (bertanya pada paranormal penyebab penyakitnya) pasti ada salah satu jawaban beliau adalah karena adanya kekurangan dari diri kita, entah itu karena upakara ataupun salah perbuatan.
Tiyang pun menyadari bahwa sakit niskala yang pernah tiyang alami adalah karena saat itu tiyang malas sembahyang dan lupa karena kesibukan pekerjaan.
Jadi apa yang mesti ditakuti? Jika pengeleakan adalah juga berasal dari Nya, mari kita cegah dengan selalu mendekatkan diri padaNya serta selalu berbuat kebajikan.
Tuhan memberi penyakit adalah agar kita menyadari kesalahan kita dan berusaha memperbaikinya.
Berdoalah dan berbuat baik, karena Tuhan Maha Pengasih... Beliau akan selalu melindungi umatNYA yang percaya padaNYA.........

Minggu, 21 November 2010

Pengalaman ajaib menjadi seorang pemangku

Tiyang lahir di tahun 1979. putri seorang Rsi dari Seririt, Buleleng. Dulu, sebelum Nak lingsir tiyang malinggih, saat tiyang kecil, tiyang sering bermimpi tentang sebuah pura yang belum pernah tiyang kunjungi sebelumnya. Sering sekali mimpi itu hadir. Hingga suatu saat tiyang mulai menyadarinya saat tanpa sengaja tiyang melewati pura-pura tersebut, dan saat itulah tiyang merasakan "dejavu". Tiyang merasa sdh pernah ke tempat itu. Dan mimpi tiyang itu juga ternyata ada kaitannya dengan piodalan yg akan diadakan di pura-pura tersebut yang tak jauh hari dari saat tiyang bermimpi. Tiyang sering menanyakannya pada Nak lingsir, namun karena kami keluarga yg besar di kota, maka Beliau selalu menjawab, " Ah itu cuma mimpi".Hingga tiyang tak begitu memperhatikan mimpi-mimpi itu lagi walau masih sering memimpikannya.
Pada tahun 1999, tiyang bertemu dengan suami saat melaksanakan tugas PKL di Toyota Auto 2000 Denpasar. Tiyang saat itu mengambil jurusan otomotif perbaikan mobil. Kebetulan beliau yg menjadi pembimbing tiyang saat PKL disana. Ternyata kami saling suka, namun berat bagi tiyang saat itu menerimanya karena hati nurani tiyang mengatakan bahwa beliau pasti kelak akan menjadi seorang pemangku. Tiyang akhirnya sempat pacaran sebentar dan memutuskan untuk menjauhinya karena latar belakang yg sangat berbeda. Keluarga tiyang adalah keluarga bisnis sehingga tiyang pikir pasti akan sulit menyatu antara bisnis dengan spiritual. Suami sendiri memang sejak kecil sudah senang ngayah di pura karena beliau merasa tenang setiap kali berada di pura. Akhirnya kami putus di tahun 2000. Namun anehnya, tiyang justru sering berjumpa tanpa sengaja di jalan. Hanya dengan suami tiyang mengalaminya. Hingga hal ini membuat kami sering putus nyambung, mungkin ada sampai sepuluh kali (kalo tiyang ingat, tiyang jadi geli sendiri).
Hingga akhirnya di tahun 2007, sekitar bulan maret, suami jatuh sakit tiba-tiba, setelah pulang dari tempat temannya yang ayahnya meninggal. Saat itu tiyang bingung. Dari rumah tiyang begitu khawatir dg kondisi beliau di tempat kostnya. Tiyang terus berdoa krn berada jauh darinya. Dan terjadi satu keajaiban. Ini sungguh di luar logika. Tepat jam 12 malam, terlihat sesosok rangda berdiri di luar kaca jendela kamar tiyang yang kebetulan saat itu terbuka kordennya. Ini nyata dan bukan mimpi. Sosok Rangda itu melambai-lambaikan kain putih yang ada ditangan beliau. Saking terkejutnya, saat itu perasaan tiyang persisi seperti apa yg digambarkan oleh film-film horor, tiyang tak mampu bergerak. Ketakutan yg luarbiasa menerpa hati tiyang. Bulu kuduk merinding dan mulut pun terkunci tak bisa berteriak. Pikiran iyang hanya satu, jangan-jangan ini leak yang akan menyakiti tiyang. Kejadian ini berlangsung 30 menit, hingga akhirnya beliau menghilang.
Keesokan harinya tiyang telpon suami tiyang dan ternyata beliau sudah sembuh. Lalu saat tiyang ceritakan pengalaman tiyang dan menggambarkan dg detail sosok rangda itu, suami seketika pucat dan mengatakan bahwa ciri-ciri itu persis dengan sosok Dewa Rangda, Ida Betara Ratu Mas Sakti, sesuhunan beliau. Dan ternyata sejak itu terus, tiyang mulai memimpikan satu demi satu sesuhunannya, antara lain Ida Betara Ratu Anom dan Ida Betara Ratu Gede walau tiyang belum pernah samasekali bertemu dengan beliau secara nyata. Hingga akhirnya di akhir bulan, suami menyampaikan berita bahwa beliau akan di winten di pura bersamaan dengan upacara pemlaspasan prarai (tapel) sesuhunannya.Tiyang sedih mendengarnya karena tiyang pikir bahwa kami akan mawinten nanti saat sudah nikah. Lalu tiyang minta putus dari suami dg alasan pasti nantinya kami tidak akan menikah krn tidak mawinten bersama. Saat itu suami kecewa dan meminta tiyang untuk bersama-sama menanyakan hal ini langsung kepada Ida Betara. Tiyang berdua lalu menghaturkan bakti di merajan keluarga tiyang sambil memohon petunjuknya. Seketika suami kerauhan. Bahasa tubuh dan suaranya sangat berbeda, dan beliau mengatakan bahwa beliau lah Ida Ratu Mas Sakti. Beliau langsung marah pada tiyang dan mengatakan bahwa kenapa tiyang tak menyadari bahwa selama ini sudah sekian kali beliau berusaha mempertemukan kami dan bahwa kami berdua memang jodoh. Tiyang pun terharu mendengarnya dan akhirnya bersedia menikah dg suami dan bersedia akan ngiring juga jika memang suami harus ngiring.
Beberapa hari setelah itu, suami harus menjalani pawintenan di pura Desa dan tiyang turut menyaksikannya. Dan yang sungguh ajaib, ternyata saat penutup-penutup prarai dibuka, tampaklah sosok-sosok yang persis dengan sosok di mimpi tiyang. Disinilah semuanya dimulai....
Pernikahan kami akhirnya di tentukan di tanggal 18 Juni 2007. Dan dipuput oleh Ida Pandita Rsi Agung Dwija Baradwaja, nak lingsir tiyang, sesuai dengan sesangihan saat menegiringi beliau seda raga saat akan melinggih dulu. Namun sayangnya ternyata hal ini ditentang habis oleh salah satu penglingsir siwa griya dari keluarga suami di Tabanan. Alasan beliau tak jelas padahal kami tak bermaksud tak hormat, namun ini hanya menjalankan sesangihan tiyang. Hingga akhirnya penglingsir tersebut bersikeras melarang dan memutuskan hubungan siwa dengan keluarga. Namun ternyata ini memang harus terjadi... Pernikahan tetap dilangsungkan dan kami bersyukur karena kami berdualah yang membiayai pernikahan ini sendiri walau tabungan sampai habis-habisan akibat tamu yg hadir diluar perkiraan.Sangat banyak yang hadir.
Setelah menikah sebulan, ternyata tiyang bermimpi didatangi seorang kakek-kakek yang meminta kami untuk nyegara gunung. Dan ternyata benar, saat kami tanyakan pd orang pintar, leluhur kami belum nyegara gunung. Inipun kami berdua masih bingung untuk mencari biayanya (maklum krn diantara saudara laki-lakinya, hanya suami yg mampu). Tiyang akhirnya mengalah dan menjual perhiasan utk bisa melaksanakannya. Syukurlah upacara berjalan dg lancar.Disaat ke segara ternyata kakek dari suami rauh dan menyatakan bahwa suamilah yang beliau tunjuk untuk meneruskan tugas kakek dahulu ( kakek dahulunya seorang mangku sekaligus balian matetamban). Keluarga pun mengiyakan. Dan yang tak terkira, esaok harinya suami mendapat bonus dari bengkel sebesar uang yg kami keluarkan utk nyegara gunung ditambah lebih lagi 100ribu rupiah. Sungguh luar biasa!!!!
Setahun kemudian, nenek dari suami meninggal dan lagi-lagi harus di aben karena beliaunya pemangku. Dan inipun juga kami berdua harus membiayainya. Kami berdua ikhlas. Walau kami berdua sebenarnya berat di ekonomi, tapi kami berusaha sekuat mungkin agar tidak sampai menjual tanah leluhur. Kami berprinsip bahwa warisan ini bukan milik kami tapi milik leluhur yg harus kami jaga. Dan upacara ngaben pun berjalan dg baik. Dan yang mengejutkan lagi, biaya ngaben yg harus kami keluarkan juga sebesar bonus tahunan suami yang diterima di 2 minggu kemudian di akhir tahun. Sungguh luar biasa kuasaNya!!!!
Dan ternyata setelah pengabenan ini mulailah terjadi hal-hal aneh dalam diri kami. Kami mulai sakit setiap kali akan berangkat ke tempat orang nikah ataupun meninggal. Keluarga suami tak percaya pd kejadian ini, hingga suatu kali kami paksakan pulang kampung utk menghadiri pemakaman salah satu warga di desa. Dan yang terjadi justru tiyang pingsan, lalu diikuti dg kerauhannya meme mertua oleh leluhur di merajan, yang menyatakan kami memang tak boleh ke tempat sebelan. Sejak itu, kami terpaksa tak berani melanggar. Namun ada kerisauan di hati kami jika ini tentunya kan menyebabkan kami dijauhi warga, sedangkan kami sendiri belum mangku (hanya mangku yg bebas dari ayah-ayahan)
Bulan April awal tahun 2009, kami berdiskusi ttg masa depan, bahwa kami pastinya tak selamanya bisa bekerja di tempat orang lain dan pastinya akan pensiun dini disaat janji kami untuk ngiring di tagih Beliau. Dan ternyata seminggu depannya, suami justru mendapat fasilitas kredit usaha dari perusahaan walau suami tak mencari. Akhirnya modal ini kami gunakan untuk membuka warung makan, karena mulai ramai, tiyang putuskan untuk berhenti dari perusahaan keluarga ( saat itu jabatan tiyang manajer operasional).Walau pro-kontra terjadi di keluarga tiyang dan bahkan hingga kini masih berat menerima kenyataan bahwa tiyang menjadi seorang pemangku, tapi tiyang tetap teguh. Warung makan berjalan dg baik dan mulai banyak pelanggan.Tiyang sendiri seringkli turun tangan membantu pegawai tiyang menyapu, menerima pelanggan hingga mencuci perabot. Memang hal ini menjadi pelajaran yg menarik bagi tiyang yang tadinya hanya duduk dan memerintah pegawai untuk melakukan apa saja, justru sekarang belajar menjadi seorang pelayan. Tapi tiyang tak gengsi.
Bulan November 2009, keanehan terjadi. Saat suami tugas ke Jakarta, tiyang mengalami sakit aneh. Setip akan berangkat ke rumah makan, seketika kaki tiyang lemas dan tak sanggup berjalan. Terus berlangsung demikian hingga tiyang menangisi kejadian ini. Kenapa? disetiap kali berdoa, yang ada hanya bayangan tiyang sedang diduduk di depan pelangkiran Ida Sesuhunan di kamar suci tiyang dengan berpakaian putih-putih. Apa yg terjadi? Dan sejak itu juga setiap sore tiyang seperti kehilangan pikiran sehat, kebingungan luar biasa. Syukur suami segera pulang. Warung makan terpaksa diliburkan selama tiyang sakit aneh ini. Setiap sore, tiyang menangis dan teriak-teriak seperti orang gila. Suami pun kebingungan, ada apa gerangan. Kami akhirnya menanyakan hal ini pada orang pintar, dan ternyata jawabannya kami berdua harus mawinten dan ngayah pada Sesuhunan. Hanya saja sesuhunan meminta kami untuk mewinten dihadapan Beliau. pertanyaan tiyang saat itu, apakah tiyang masih boleh menjalankan bisnis rumah makan? apakah suami masih boleh bekerja? Dan apakah bisa kami mawinten di hdapan sesuhunan? Dan
Setelah itu, ternyata tiyang tetap tak boleh berbisnis karena ini terbukti, tiyang tetap tak bisa berjalan setiap kali akan ke warung makan. Mungkin sekilas ini aneh, dan banyak yg berpikir ini hanya sugesti saja. Tapi tiyang sungguh-sungguh mengalaminya. Tiyang sendiri orang logika, berbekal pengalaman dan latar belakang pendidikan tentu tak mudah menerima semua ini. Tapi ini nyata. Inilah kebesaranNya.
Akhirnya dengan berat hati, disaat modal belum kembali, masih dlm bentuk hutang puluhan juta, serta pelamggam yg mulai banyak, terpaksa warung kami tutup begitu saja. Sungguh hal yg menyakitkan. Selama berminggu-minggu tiyang terpuruk. Keluarga tiyang tak terima dg peristiwa ini, keluarga suami juga demikian.Ditambah lagi keluarga suami bersikeras tak mengijinkan pewintenan dilangsungkan di pura krn ini pekerjaan besar dan masih banyak alasan lagi.
Setiap hari tiyang hanya mengurung diri di kamar suci dan menangis di hadapan Beliau. Mengapa beliau menunjuk seperti itu tapi keluarga tak menerimanya. Tiyang menangis dan terus menangis setiap harinya, Hingga lama kelamaan tiyang pasrah. Habis sudah tangis tiyang. Tiyang akhirnya merenung dan terus merenung. Sambil diam di kamar suci, tiyang mulai membeli buku-buku spiritual yg bisa menenangkan hati ini. Akhirnya, akhir Desember, hati tiyang mulai tenang. Saat itulah tanggal 29 Desember 2009 tiyang bermimpi mendapatkan sebuah permata hijau beserta ranting pohon tua.Saat bangun, hati tiyang tergerak untuk mencari tahu makna warna hijau, jawbannya hijau adalah warna Dewa Sangkara di Pura Pucak Mangu.Setelah membahas mimpi ini , kami sepakat untuk tangkil kesana pada tanggal 31 Desember 2009, tepat di hari ulangtahun tiyang. Dan disanalah terjawab semuanya.
Kami memutuskan makemit di pura dan ternyata kami tak sendiri. Ada beberapa orang yg juga makemit di pura. Tepat jam 12 malam, kami berdua meditasi di hadapan palinggih beliau. Saat itu ternyata suami kerauhan. Ida Sasuhunan Ratu Mas Sakti bersabda kepada tiyang, " Inggih... sira ja tan percaya... Nira kal mukitiyang....Nira kal muktiyang!!!"
Tiyang sadar, saat berdoa tadi tiyang berkeluh kesah padaNya bahwa selama ini petunjuk-petunjuk Beliau lewat mimpi tak di percaya oleh keluarga tiyang, termasuk masalah mawinten. Tiyang menerima kata-kata beliau dan berharap semoga benar Beliaulah yang akan memberi jalan. Setelah sadar dan di beri tirta oleh pemangku disana, seseorang mendekati kami dan tanpa kami minta beliau menjelaskan siapa kami dan akan jadi apa kami kelak sesuai hasil "penglihatan" beliau. Beliau hanya bilang bahwa kami akan mendirikan tempat yg sangat suci di rumah kami di Tabanan. Tiyang tak mengerti. Dalam pikiran kami, mungkin karena kami akan jadi balian sesuai titah leluhur. Tak berselang lama, seorang lagi mendekati kami dan kembali menyatakan apa yg beliau lihat. Dan yang mengejutkan, saat kami bertanya, akan menjadi apakah kami kelak, Beliau justru bilang kami akan menjadi seorang pendeta. Kami terkejut dan tak percaya, walaupun orang tua tiyang sulinggih tapi di keluarga suami sama sekali tak ada yg jadi sulinggih dari jaman dahulu kala. Kami hanya menanggapi dg datar antara percaya dan tidak.Tapi satu pesan beliau, tiyang berdua jangan khawatir karena Tuhan akan menuntun perjalanan kami ini.
Sepulangnya dari sana, hati tiyang sdh mulai tenang krn tiyang percaya bahwa Tuhan lah yg akan menunjukkan kebesaranNYA.
Tanggal 21 Januari 2010 pawintenan sari (tahap 1)kami dilaksanakan. Walau berat krn pawintenan ini tak sesuai sabda Beliau, kami berpasrah diri. Apalagi pawintenan ini hanya dipuput oleh seorang pemangku dari kawitan. Sepanjang upacara kami berdoa agar Tuhan memberkati. Dan ternyata terbukti. Saat perajahan akan dimulai, mangku istri kerauhan dan seketika menyetop mangku yang akan merajah kami. Beliau menyatakan dri bahwa beliau adalah Ida Sesuhunan dari Pucak Luhur Kaler (Pucak Kedaton-batu karu). Beliau mengatakan bahwa kami adalah tanggungjawab beliau, dan biar beliau yang mawintenkan langsung.Semua orang terpukau, anjing melolong-lolong di luar, hingga suasana menjadi agak seram. Disinilah kami mulai yakin dengan sabda Beliau sebelumnya di Pucak Mangu. Upacara berjalan lancar. Namun anehnya, mangku istri membisikkan pada tiyang bahwa kami berbeda dan harus segera mencari penuntun sedangkan beliau tak sanggup menjadi penuntun.
Sejak pawintenan sari itu, kami mulai belajar kepemangkuan dg baik. Suami tiyang juga ternyata tanpa sengaja dipindahkan oleh bengkel, dari kepala regu mekanik menjadi kepala di bagian Pengecatan dimana tak perlu khawatir dg pekerjaan yg beriri bekerja di bawah mobil (krn menurut keyakinan, masulub-sulub di bawah mobil itu leteh bagi seorg mangku). Karirnya pun mulai bersinar walau tiyang sendiri masih belum bekerja.
Di bulan februari, kembali tiyang mengalami kebingungan luar biasa. Kami akhirnya mencari seorang Rsi dan mencoba menanyakan apa yg terjadi pada kami dan nunas penuntun Beliau. Beliau menjawab, tentukan dulu apa tugas kalian sebenarnya, menjadi mangku atau balian?
Pertanyaan yg sulit, karena kami sendiri tak tahu. Jika menjadi balian, buktinya hingga saat itu kami tak mendapat paica apapun utk mengobati, bahkan justru nurani menyatakan lebih cenderung ke arah pemangku. Setiap senja, tiyang kembali merasa kebingungan. Namun walau kebingungan, kami tak pernah putus berdoa. Hingga akhirnya kami di titahkan lewat mimpi untuk ke Pura Dalem Ped.
Pada malam sebelum perayaan Saraswati kami putuskan untuk tangkil ke Pura Dalem Ped dan makemit. Disana kami mohon agar beliau menunjukkan apa dan siapa yang bisa menuntun kami agar tak bimbang. Setelah berdoa, disaat kami sedang duduk-duduk seseoang mendekati kami dan menjawab doa kami mengenai siapa penuntun kami. Beliau menyuruh kami nunas penuntun kepada Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa di Griya Penatih. Sungguh mengejutkan, padahal kami tidak membicarakan hal ini pada orang tersebut. Berbekal jawaban ini, di hari Senin akhirnya kami putuskan utk tangkil ke griya Ida Pandita. Dan disanalah kami bercerita tentang kami pada Ida, dan ternyata pengalaman mendiang kakek dan pengalaman kami persis seperti pengalaman beliau. Disanalah, saat kami bertanya, siapakah kami? apakah kami akan menjadi pemangku atau Balian? Beliau dg bijak menjawab,"menjadi pemangku ataupun balian, semua intinya adalah pelayanan dg ikhlas dan tulus. Siapkah mangku berdua melayani? jika sudah, maka pertanyaan itu akan terjawab, siapa mangku berdua sesungguhnya." Dan beliau juga menyatakan bahwa untuk saat ini, kami berdua sudah saatnya meingkatkan pawintenan nya menjadi pawintenan Ganapati.
Berbekal jawaban tersebut, kami mencoba untuk merenung. Memang, tentunya menjadi balian atau pemangku kami harus siap mental, siap melayani dg ikhlas dan tanpa mengenal lelah. Akhirnya setelah cukup lama merenung, kami mulai bisa pasrah dan siap untuk itu. Sambil menunggu tugas apa itu, kami sering belajar kepemangkuan di griya padukuhan samiaga setiap hari sabtu malam. Pawintenan Ganapati pun kami laksanakan di bulan Mei di griya agar tak banyak menghabiskan biaya dan langsung diwinten oleh Ida Pandita. Perlu diketahui, saat itu kami masih berhutang cukup banyak akibat modal warung yg belum kembali.
Saat hari Manis Kuningan, tiyang berdua tangkil ke pura Pucak Rangda di sore harinya. Sepulang dari sanalah, malamnya tiyang bermimpi aneh. Beliau, sesuhunan di Pucak Rangda menyatakan apa tugas kami. Bukan balian ataupun pemangku, melainkan sulinggih.Jelas tiyang tak yakin dg mimpi ini dan berpikir bahwa ini hanya mimpi. Namun kejadian ini terus berlangsung setiap malam hingga tiyang ketakutan. Akhirnya, tiyang berdua tangkil kepada Ida Pandita dan beliau tersenyum teduh menanggapi hal itu. Beliau menyatakan sebenarnya itulah tugas kami dan beliau sudah mengetahuinya lewat jnana beliau saat pertama kali kami tangkil ke griya. Dan tak banyak orang yg memiliki ciri-ciri itu, hanya orang tertentu saja. Tiyang berdua menyatakan ingin berpikir dulu tentang tugas ini.
Kamui berdua sungguh terkejut dg kenyataan ini. Bagaimana tidak, usia kami masih sangat muda, belum memiliki seorang anak, tak memiliki uang dan bahkan tak ada keturunan sulinggih di keluarga suami. Saat kami sampaikan pada keluarga, tentu saja keluarga terkejut dan tak percaya. Walau mereka mengijinkan karena sayang pada tiyang berdua, tapi tetap sulit dipercaya.
Tiyang berdua berpikir dan terus berpikir. Apakah ini benar?
Entah mengapa kondisi suami tiyang kemudian menurun, perut beliau membiru dan tak bisa tidur semalaman selama hampir sebulan. Dokter sendiri angkat tangan walau sdh cek lab . Akhirnya kami tangkil lagi ke griy dan menanyakan hal ini. Beliau dg senyum menjelaskan bahwa pilihan itu pasti akan selalu ada. Tergantung pada kami. Beliau menyarankan pada kami untuk melaksanakan tapa brata untuk mencari jawabnya dari hati nurani kami. Suami kemudian melaksanakan cuti 2 minggu dan kami berdua melaksanakan tapa brata tak makan tak minum selama 7 hari. Dan disanalah kami mulai mendapat jawaban, bahwa kami terpanggil untuk menjalankan perintah Tuhan ini. Walau kami tahu resikonya sangat-sangat besar dari segala sisi, tapi kami berpikir bahwa ini adalah tugas yg mulia dari Tuhan. Banyak orang yang bingung mencoba mencari tahu ttg makna hidup dan mencari tahu "siapa saya", dan kini justru Tuhan telah menunjukkannya pada kami. Dan bukankah semua pekerjaan adalah mulia? walau kami harus mengendalikan hawa nafsu kami disaat orang-orang seusia kami justru sdg menikmati indahnya dunia. Tapi inilah tugas. Saat kami masih di dunia bisnis, walau bergelimang harta, tapi kami sadari bahwa uang rasanya tiada puas puasnya. selalu merasa ada yang kosong. Sedangkan kami bandingkan, sejak menjadi pemangku, walau uang berkurang tapi ternyata Tuhan membimbing kami perlahan untuk mengurangi makan, dengan dibuat kami menjadi vegetarian. Bersolek pun, sungguh ajaib, Tuhan membimbing tiyang dg membuat tiyang gatal setiap kali bermake-up ataupun menggunakan perhiasan. Kami menyadari bahwa setiap manusia lahir ke dunia membawa tugasnya masing-masing. Dan ternyata tanpa sadar, kami juga bertemu seseorang yang bisa meyakinkan kami dan yg bisa melihat reinkarnasi kami sebelumnya bahwa kami dulunya memang suami istri pendeta.
Sempat tiyang sebagai wanita, ibu rumah tangga merasa sangat berat, apalagi jika dipikir dari segi ekonomi nantinya karena jelas kami tak boleh bekerja lagi. Ternyata tiyang kena batunya. Tiyang seketika jatuh sakit, sampai-sampai kembali dokter bingung dibuatnya karena hasil lab yg membingungkan.
Saat sakit itulah suami tiyang tangkil dan mohon bimbingan Ida Pandita. Beliau kembali dengan bijak menjelaskan pada suami tiyang bahwa tiyang harus pasrah. Tugas ini adalah tugas mulia, dan jangan khawatir, Tuhan akan slalu ada untuk orang-orang yg ikhlas pada Beliau.
Akhirnya, tiyang berusaha untuk pasrah, hingga benar, akhirnya tiyang sembuh. Ditetapkanlah akhirnya tanggal 19 Agustus 2010 adalah upacara awal penabean kami berdua. Namun sebelum itu Ida Pandita meminta kami agar mawinten Panca Rsi agar bisa mempelajari kesulinggihan ini. Bulan Juni, kami melaksanakan pawintenan dg biaya kecil di griya Ida Pandita.
Walau didalam perjalanan ini, dalam menjalani persiapan kasulinggihan ini begitu banyak cobaan yg menimpa kami, dari masalah keluarga hingga ekonomi, namun Tuhan Maha Besar. Beliau selalu memberi jalan keluar yg tak terduga buat kami. Dan itu pun slalu disaat kami pasrah ( dalam artian tak terikat/bisa melepaskan kesedihan akan masalah tersebut). Dari perjalanan ini, kami berdua banyak belajar.
Penederitaan inilah yang membuat seseorang bisa lebih dewasa. Tuhan banyak megajarkannya pada kami. Tiyang mengambil hikmah, Tuhan sengaja membuat tiyang melewati fase membuat warung makan, agar tiyang belajar merendah pada orang lain (yg mana biasanya tiyang yg memerintah) dan belajar melayani semua orang tanpa terkecuali. Tuhan juga mengajarkan tiyang untuk menghargai mahluk hidup dengan melewati fase menjadi vegetarian. Tuhan juga mengajarkan pada kami kekuatan pasrah dan yakin kepadaNya bahwa dengan begitu Tuhan bisa menolong kita. Tuhan juga menjatuhkan ekonomi kami dengan tujuan mengajarkan pada kami untuk mulai hidup menerima apa adanya, mulai belajar pengendalian diri (krn uanglah yg membuat org sulit mengendalikan diri) dan mengalahkan ego.
Sungguh besar rasa terimakasih kami kepadaNya.
Sebenarnya masih banyak pengalaman tiyang diluar logika, yg jelas-jelas sebelumnya tiyang tolak krn tiyang besar di lingkungan keluarga modern, berbeda dg suami. Tapi disinilah Tuhan menunjukkan sifatNya yaitu " Acintya" atau yang tak terpikirkan.
Yang kami pegang dan yakini saat ini adalah, walau menjadi apapun kami kelak, itu bukan masalah, selama kami bisa menyerahkan hidup kami kepadaNya. Pengalaman melihat orang tua tiyang yg sebelumnya menolak menjadi seorg sulinggih krn berbagai alasan, membuat kami tak mau egois dg menolak tugas ini. Semoga Tuhan tetap membimbing kami. Doa kami semoga Tuhan senantiasa membimbing kami dan seluruh umatNya agar slalu di jalan yang benar.....

Kamis, 18 November 2010

Awal segalanya.... part 2

Menjalani hidup ikutilah bagai air yang mengalir. Itulah yang tiyang pelajari selama perjalanan hidup ini. Berbagai rencana tetaplah hanya rencana. Ketidaksetujuan dari berbagai pihak tiyang terima terutama dari keluarga karena keputusan untuk seratus persen menjalani kehidupan spiritual dan menarik diri dari kehidupan materi. Dan ini pun sungguh bukan merupakan hal yang mudah, malah sebaliknya. Satu sisi kondisi ekonomi yang kini pas-pasan serta masih adanya beban beberapa hutang jelas bukan merupakan keputusan yang baik. Namun untungnya Suami masih bisa bekerja. Dan ada satu nasehat yang pernah tiyang dapatkan dari Ida Rsi Bujangga Oka Widnyana, bahwa rezeki itu satu dari pasangan suami istri. Jika dua-duanya bekerja umumnya terjadi konflik di rumahtangga. Dan ternyata nasehat Beliau benar. Sejak mewinten pemangku yang pertama ternyata suami tiyang ditempatkan untuk menjadi pimpinan di Body repair di bengkel tempatnya bekerja, dan bahkan kini karir beliau makin bersinar. Dan sungguh tiyang sangat mensyukurinya.
Namun tiyang merasakannya kini, sejak menjalani spiritual dan ngayah dengan tulus padaNya, di dalam kehidupan berumahtangga kami justru semakin tenang, walau tidak semewah sbelumnya. Kami selalu berpasarah diri namun bukan pasrah dalam artian tak berbuat apa. Kami serahkan semua padaNya dan selalu memohon penuntunnya. Kami tak pernah mencoba melawan takdir ini lagi. Dan ternyata benar, tuntunan itu slalu datang. Mulai dari yang tersederhana yaitu menjadi vegetarian.
Dulu, kami berdua sangat suka makan, terutama babi guling dan seafood. Namun sungguh luar biasa, sejak dari seminggu menjelang pawintenan pertama, kami berdua dibuat gatal-gatal setelah memakan daging ataupun seafood, hingga akhirnya hingga kini kami menjalani hidup sebagai vegetarian.
Bersolek pun juga Beliau menuntun kami. Ajaib dan sungguh tak bisa di percaya, ternyata setelah pawintenan, setiap perhiasan yang kami gunakan justru menyakiti kami. Gatal hingga bengkak di bagian tubuh kami yg mengenakan perhiasan.
Cara kami berdoa pun Beliau menuntun kami secara tak langsung, mulai dari wujud-wujud manifestasi apa yang harus kami kenal dan kami puja hingga akhirnya timbul kesadaran bahwa Beliau tetap adalah tunggal.
Sungguh luar biasa. Ini sebabnya keyakinan kami kian besar untuk menjalaninya. Belajar dan terus belajar untuk mengenal Beliau.

Minggu, 14 November 2010

Awal segalanya.... (part 1)

Dijaman modern ini, menjadi seorang pemangku (pemimpin upacara) bukan menjadi pilihan cita-cita seseorang. Banyak yang justru menolaknya disaat ternyata tugas itu diserahkan kepadanya oleh adat bahkan oleh Tuhan sekalipun. Mengapa? Mungkin salah satunya karena masa depan menjadi seorang pemangku dianggap suram terutama dari segi ekonomi.
Dan inilah yang tiyang alami sebelumnya...
Terlahir di keluarga berada 30 tahun yang lalu namun pekerja keras telah membentuk pribadi tiyang menjadi seorang wanita mandiri. Demgam berbagai prestasi akademik yang telah tiyang raih sejak di bangku sekolah membuat tiyang memiliki cita-cita yang sangat tinggi saat usia remaja. Menjadi "Wanita Karir". Dan keluarga pun sangat mendukung serta berusaha memfasilitasinya. Berbagai usaha telah tiyang coba dirikan, mulai dari restoran, bengkel pengecatan mobil, waralaba. Namun entah mengapa semua usaha itu terhenti ditengah jalan, justru disaat sedang jaya. Dan itupun disebabkan oleh alasan yang tidak rasional. Hingga akhirnya tiyang putuskan untuk mengajar sekaligus mengelola lembaga pendidikan milik orangtua tiyang bersama saudara-saudara tiyang yang lain.
Namun perkawinan tiyang dengan suami telah mengubah segalanya. Sejak awal tiyang menikah, satu demi satu tugas diberikan oleh leluhur. Mulai dari mengabenkan, nyegara-gunung hingga kami berdua diharuskan untuk mawinten di merajan (Januari 2010). Dan itupun tak berhenti sampai disitu. Ternyata tiyang berdua harus lebih meningkatkan kesucian diri dengan mawinten lagi dan lagi hingga pawintenan terakhir yakni pawintenan panca resi. Dan bahkan terakhir harus mencari seorang penuntun.
Kebimbangan mendera, pertanyaan mulai mengusik pikiran tiyang berdua. Kami harus menjadi apa? Satu demi satu orang-orang suci kami datangi, namun tak satupun bersedia menjadi penuntun kami. Semua bertanya, siapa kami? Pemangku atau Balian?
Ya Tuhan, sesulit inikah jalan untuk menuju padaMu?
Kesedihan, keterpurukan ekonomi dan hantaman masalah sudah bertubi-tubi datang, namun mengapa disaat kami pasrah dan ikhlas menyerahkan diri justru Beliau menguji kami lagi. Siapakah kami ya Tuhan... doa ini terus terucap disetiap detiknya.