Kamis, 18 November 2010

Awal segalanya.... part 2

Menjalani hidup ikutilah bagai air yang mengalir. Itulah yang tiyang pelajari selama perjalanan hidup ini. Berbagai rencana tetaplah hanya rencana. Ketidaksetujuan dari berbagai pihak tiyang terima terutama dari keluarga karena keputusan untuk seratus persen menjalani kehidupan spiritual dan menarik diri dari kehidupan materi. Dan ini pun sungguh bukan merupakan hal yang mudah, malah sebaliknya. Satu sisi kondisi ekonomi yang kini pas-pasan serta masih adanya beban beberapa hutang jelas bukan merupakan keputusan yang baik. Namun untungnya Suami masih bisa bekerja. Dan ada satu nasehat yang pernah tiyang dapatkan dari Ida Rsi Bujangga Oka Widnyana, bahwa rezeki itu satu dari pasangan suami istri. Jika dua-duanya bekerja umumnya terjadi konflik di rumahtangga. Dan ternyata nasehat Beliau benar. Sejak mewinten pemangku yang pertama ternyata suami tiyang ditempatkan untuk menjadi pimpinan di Body repair di bengkel tempatnya bekerja, dan bahkan kini karir beliau makin bersinar. Dan sungguh tiyang sangat mensyukurinya.
Namun tiyang merasakannya kini, sejak menjalani spiritual dan ngayah dengan tulus padaNya, di dalam kehidupan berumahtangga kami justru semakin tenang, walau tidak semewah sbelumnya. Kami selalu berpasarah diri namun bukan pasrah dalam artian tak berbuat apa. Kami serahkan semua padaNya dan selalu memohon penuntunnya. Kami tak pernah mencoba melawan takdir ini lagi. Dan ternyata benar, tuntunan itu slalu datang. Mulai dari yang tersederhana yaitu menjadi vegetarian.
Dulu, kami berdua sangat suka makan, terutama babi guling dan seafood. Namun sungguh luar biasa, sejak dari seminggu menjelang pawintenan pertama, kami berdua dibuat gatal-gatal setelah memakan daging ataupun seafood, hingga akhirnya hingga kini kami menjalani hidup sebagai vegetarian.
Bersolek pun juga Beliau menuntun kami. Ajaib dan sungguh tak bisa di percaya, ternyata setelah pawintenan, setiap perhiasan yang kami gunakan justru menyakiti kami. Gatal hingga bengkak di bagian tubuh kami yg mengenakan perhiasan.
Cara kami berdoa pun Beliau menuntun kami secara tak langsung, mulai dari wujud-wujud manifestasi apa yang harus kami kenal dan kami puja hingga akhirnya timbul kesadaran bahwa Beliau tetap adalah tunggal.
Sungguh luar biasa. Ini sebabnya keyakinan kami kian besar untuk menjalaninya. Belajar dan terus belajar untuk mengenal Beliau.

1 komentar:

  1. om swastyastu, tyang ngaturang suksma sampun posting puniki, tyang ten uning harus ngomong punapi tapi tyang juga di tegor jika ke depan tyang harus ngyah, disisi lain tak jauh kurang seperti pengalaman jero, tyang belum punya apa" tuntutan diri agar bisa punya rumah setidaknya menabung selalu saja sia" bahkan untuk makan sulit luar biasa... saat stelah di tanya karena sya memang malas sembahyang karena sya sllu berfikir(sebagai orang awam tak tahu apa "linglung") bahwa pendapat sya jika ada canang baru bisa sembahyang jika suasana tenang baru sembahyang, hingga teguran itu membuat sya mnyadari jika sembahyang di hadapan beliu hanya perlu duduk dan memohon saja sudah cukup. memang sya selalu kepikiran di umur muda saya, saya sudah di karuniai 2 anak yang tentunya saya tak punya apa" bingung dengan masa depan kedua anak saya dimana saya juga berharap bsia membahagiakan kedua anak saya dan tidak mengalami seperti apa yang saya alami dimana saya harus hidup susah dari kecil hingga saat ini. entah saya harus bicara apa, tyang bingung, tyang ten duwe napi bahkan untuk tangkilpun sya gak brani ke griya karean gak punya apa", mohon renungan jero ...suksma

    BalasHapus